Enter Slide 1 Title Here

Enter Slide 2 Title Here

Enter Slide 3 Title Here

Jumat, 19 Februari 2016

Dunia Allah

Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya. —Mazmur 24:1
Dunia Allah
Saya tahu putra saya akan senang menerima gambar peta dunia untuk kado ulang tahunnya. Setelah melihat-lihat di toko, saya menemukan selembar peta dunia berwarna-warni yang dilengkapi dengan ilustrasi dari setiap daerah. Ada kupu-kupu cantik melayang di atas Papua Nugini. Ada rangkaian gunung di Chili. Ada berlian yang menghiasi Afrika Selatan. Saya sangat senang melihat peta itu, tetapi saya merasa ragu saat membaca label di bagian bawah peta itu yang bertuliskan:Dunia Kita.
Di satu sisi, bumi adalah dunia kita karena kita hidup di dalamnya. Kita diizinkan untuk minum airnya, menambang emasnya, memancing di lautnya—tetapi itu semata-mata karena Allah sudah memberikan izin-Nya (Kej. 1:28-30). Sesungguhnya, ini adalah Dunia Allah. “TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Mzm. 24:1). Saya sangat terpesona saat mengingat bahwa Allah sudah mempercayakan karya ciptaan-Nya yang luar biasa kepada manusia biasa. Dia tahu bahwa ada dari kita yang akan menyalahgunakannya, menyangkal bahwa Dialah penciptanya, dan mengakuinya sebagai milik kita. Tetap saja Dia mengizinkan kita untuk menghuni bumi ini dan menjaga kelangsungannya melalui Anak-Nya (KOL. 1:16-17).
Hari ini, sediakanlah waktu untuk menikmati hidup di dalam dunia Allah. Kecaplah rasa beberapa jenis buah. Dengarkanlah kicauan burung dan nyanyiannya. Nikmatilah suasana matahari tenggelam. Izinkanlah dunia yang kamu huni ini mengilhamimu untuk menyembah Allah yang empunya bumi. —Jennifer Benson Schuldt
Tolong aku, Tuhan, untuk sesekali berhenti. Untuk melihat, mendengar, mencicipi, memikirkan tentang berkat yang Engkau berikan untuk kami nikmati. Terima kasih untuk ungkapan kreativitas dan kasih-Mu kepadaku hari ini.
Keindahan karya ciptaan memberi kita alasan untuk memuji Allah.


Sumber : http://www.iampiniel.com/2015_04_01_archive.html

Menghadapi Kemustahilan

Berfirmanlah TUHAN kepada Yosua: “Ketahuilah, Aku serahkan ke tanganmu Yerikho ini.” —Yosua 6:2
Menghadapi Kemustahilan
Pada tahun 2008, harga-harga rumah di Inggris sedang anjlok. Namun 2 minggu setelah saya dan suami menjual rumah yang telah kami huni selama 40 tahun, seorang pembeli menawar dengan harga yang baik dan kami pun setuju untuk menjualnya. Kontraktor kami segara bekerja untuk merenovasi rumah yang pernah saya warisi dan yang akan menjadi tempat tinggal kami yang baru. Namun beberapa hari sebelum penjualan rumah lama beres, calon pembelinya menarik diri. Kami pun merasa terpukul. Sekarang kami memiliki dua rumah—satu rumah dengan harga yang sedang anjlok drastis dan satu lagi rumah berbentuk puing yang tidak dapat kami jual atau tempati. Sebelum kami menemukan pembeli baru, kami tidak mempunyai uang untuk membayar kontraktor. Kami berada dalam keadaan yang mustahil.
Ketika Yosua memandang ke arah Yerikho, suatu kota berkubu yang dipersenjatai dengan kuat, ia mungkin merasa menghadapi suatu keadaan yang mustahil (Yos. 5:13-6:27). Namun tiba-tiba dilihatnya seorang laki-laki berdiri di depannya dengan pedang terhunus di tangannya. Sejumlah teolog memperkirakan bahwa laki-laki itu adalah Yesus sendiri. Yosua yang cemas pun bertanya apakah laki-laki itu akan membela bangsa Israel atau membela lawannya dalam peperangan yang menjelang. “‘Bukan,’ jawabnya. ‘Akulah Panglima Balatentara TUHAN’” (Yos. 5:14). Yosua sujud menyembah dengan mukanya ke tanah sebelum ia berani melangkah. Saat itu, Yosua masih belum mengetahui bagaimana Yerikho akan diserahkan ke dalam tangannya, tetapi ia memperhatikan firman Allah dan menyembah Allah. Setelah itu, ia menaati perintah Tuhan dan yang mustahil pun menjadi kenyataan. —Marion Stroud
Tuhanku, sering saat aku menghadapi keadaan yang mustahil aku memilih untuk khawatir daripada percaya. Tolong aku untuk mempercayai-Mu dan mengingat bahwa tidak ada yang terlalu sukar bagi-Mu.
Tiada yang mustahil bagi Tuhan.

Sumber : http://www.iampiniel.com/2015_04_01_archive.html

Berikan Semua

[Persembahkanlah] tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. —Roma 12:1
Berikan Semua
Dalam satu-satunya pidato pelantikannya sebagai Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy menyampaikan tantangan berikut kepada orang Amerika: “Jangan bertanya apa yang dapat negaramu perbuat untukmu; bertanyalah apa yang dapat kamu perbuat untuk negaramu.” Tantangan itu merupakan seruan ulang pada seluruh warga negara untuk menyerahkan hidup mereka dalam pengorbanan dan pelayanan kepada sesama. Kata-kata tersebut begitu mengilhami putra-putri warga negara yang dahulu pernah melayani negara mereka dalam kancah peperangan.
Makna pernyataannya itu jelas: Apa yang telah diperoleh orangtua mereka, dan seringkali dengan pengorbanan nyawa, sekarang harus dipelihara dengan cara-cara yang damai. Sekelompok besar sukarelawan pun bangkit untuk menjawab seruan itu, dan dari dekade ke dekade mereka telah berhasil menunaikan karya-karya kemanusiaan yang tidak terhitung jumlahnya di seluruh dunia.
Berabad-abad sebelumnya, Rasul Paulus menyampaikan seruan serupa kepada orang Kristen dalam ayat pembuka dari Roma 12. Ia mendorong kita supaya mempersembahkan tubuh kita sebagai “persembahan yang hidup” dalam pelayanan kepada Kristus yang telah mengorbankan nyawa-Nya untuk menebus kita dari dosa. Pengorbanan rohani itu haruslah lebih dari sekadar kata-kata; hal itu haruslah berupa penyerahan diri kita demi kesejahteraan fisik, emosi, dan rohani sesama.
Yang luar biasa, kita dapat melayani di mana pun kita ditempatkan saat ini! —Randy Kilgore
Bapa, tunjukkanlah kepadaku hari ini bagaimana aku dapat menyerahkan hidupku ini kepada-Mu, dan beriku kekuatan untuk mulai berbuat sesuatu.
Jangan selalu bertanya apa yang dapat Yesus perbuat bagimu; bertanyalah kepada Yesus apa yang dapat kamu perbuat bagi-Nya.

Sumber : http://www.iampiniel.com/2015_04_01_archive.html

Harapan Hidup

Kemurnian imanmu—yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, . . . memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya. —1 Petrus 1:7
Harapan Hidup
Ketika tragedi mengerikan telah menghempaskan hidup seseorang, mereka pun bertanya-tanya. Baru-baru ini, seorang ibu yang kehilangan anak remajanya berkata, “Aku tak mengerti. Aku tak tahu apakah aku masih punya iman. Aku mencoba, tetapi Allah sepertinya tak masuk akal bagiku. Apa maksud semua ini?” Tak ada jawaban yang mudah untuk pertanyaan sebesar itu. Namun bagi mereka yang percaya kepada Kristus, selalu ada harapan, baik kita sedang berlimpah berkat atau mengerang dalam duka.
Petrus menjelaskan hal itu dalam suratnya yang pertama. Dengan berapi-api, ia memuji Allah yang telah melahirkan kita kembali “kepada suatu hidup yang penuh pengharapan” (1Ptr. 1:3) melalui penyelamatan kita. Harapan itu dapat membawa kebahagiaan, bahkan setelah terjadinya suatu tragedi. Ia juga meyakinkan kita bahwa pengharapan itu bersifat abadi (ay.4). Lalu ia berbicara tentang kenyataan yang pedih, bahwa kita mungkin harus “berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan” (ay.6). Mereka yang telah menderita kembali mendapatkan pengharapan melalui kata-kata Petrus berikutnya: “Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu . . . sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya”(ay.7).
Melalui kata-kata itu, kita melihat sisi lain dari suatu pencobaan yang sering terasa acak dan tak terpahami. Di tengah-tengah tragedi, karena Juruselamat kita yang agung, kekuatan dan keindahan dari keselamatan kita dapat memancarkan sinarnya. Kiranya sinar harapan itu dapat menolong seseorang yang sedang berduka. —Dave Branon
Tuhan, Engkau meyakinkan kami bahwa keselamatan agung yang Kau berikan itu dimurnikan melalui penderitaan kami dan membawa kemuliaan bagi nama- Mu. Tolonglah kami memulai setiap hari baru dengan selalu berharap kepada-Mu.
Cahaya keselamatan bersinar terang di malam tergelap sekali pun.


Sumber : http://www.iampiniel.com/2015_04_01_archive.html

Selasa, 09 Februari 2016

Ujian Akhir Nasional (UAN)
akan di laksanakan tanggal
4 April 2016


Catatan:
Seperti biasanya UAS  akan di laksanakan 1 bulan sebelum UAN



Sumber: Wakasek Kurikulum  10/02/2016

Jumat, 15 Januari 2016

Penulis William Zinsser bercerita tentang kunjungan terakhirnya untuk melihat rumah tempat ia dibesarkan, suatu tempat yang sangat dicintainya di masa kecil. Ketika ia dan istri tiba di bukit di atas Teluk Manhasset dan Selat Long Island, mereka mendapati ternyata rumah itu sudah dirobohkan. Yang tersisa hanyalah sebuah lubang besar. Dengan sangat kecewa, mereka berjalan menuju ke tanggul laut terdekat. Zinsser memandangi teluk sambil menikmati pemandangan yang ada. Di kemudian hari, ia menuliskan tentang pengalamannya tersebut, “Aku merasa tenang dan tidak terlalu sedih. Pemandangannya lengkap: paduan unik dari daratan dan lautan yang begitu berkesan sampai-sampai aku masih memimpikannya.”
Pemazmur menulis tentang suatu masa yang sulit ketika jiwanya enggan dihiburkan dan lemah lesu semangatnya (Mzm. 77:3-4). Namun dalam kegelisahannya, ia mengalihkan perhatian dari kesedihan yang dirasakannya kepada Juruselamatnya, dengan berkata, “Aku hendak mengingat perbuatan-perbuatan TUHAN, ya, aku hendak mengingat keajaiban-keajaiban-Mu dari zaman purbakala” (ay.12).
Ketika dirundung kekecewaan, kita dapat memilih untuk berfokus pada kehilangan kita atau kepada Allah saja. Tuhan mengundang kita untuk memandang kepada-Nya dan menikmati seluruh kebaikan-Nya, kehadiran-Nya, dan kasih-Nya yang kekal. —David McCasland
Bapa di surga, kehidupan ini bisa menjadi indah tetapi juga mengecewakan. Kami tahu bahwa keadaan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kekecewaan itu membawa kami kepada-Mu, karena hanya Engkaulah harapan sejati bagi dunia.
Pengharapan selalu terpelihara ketika kita meyakini kebaikan Allah.
Di awal dekade 1970-an di Ghana, terpampang sebuah poster berjudul “The Heart of Man” (Hati Manusia) di banyak dinding dan papan pengumuman layanan masyarakat. Di salah satu gambarnya, ada berbagai jenis reptil—simbol dari segalanya yang buruk dan tercela—memenuhi lukisan berbentuk hati dengan gambar kepala seorang pria yang sangat tidak bahagia di atasnya. Sementara itu, di gambar yang lain, terlukis hati yang bersih dan teduh dan di atasnya ada lukisan kepala seorang pria yang bahagia. Di bawah kedua gambar hati itu ada tulisan: “Bagaimana keadaan hatimu?”
Di Matius 15:18-19, Yesus menjelaskan tentang apa yang mencemari seseorang. “Apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.” Itulah keadaan sebuah hati yang terpisah dari Allah—dan juga keadaan bangsa Israel kuno yang harus masuk ke dalam pembuangan karena dosa-dosa mereka (YEH. 36:23).
Janji Allah dalam Yehezkiel 36:26 begitu indah: “Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat” (lihat juga 11:19). Allah akan menjauhkan hati kita yang begitu keras, yang sudah tercemari berbagai macam kejahatan, dan memberi kita sebuah hati yang bersih dan taat kepada-Nya. Terpujilah Allah untuk anugerah-Nya yang begitu ajaib. —Lawrence Darmani
Bapa di surga, terima kasih karena ketika kami mengakui dosa kami kepada-Mu, Engkau memberi kami hati yang baru dan hidup yang baru. Aku berdoa kiranya hidup yang kujalani ini mencerminkan indahnya anugerah-Mu dan agar sesamaku dapat melihat perubahan diri yang telah diciptakan oleh hati baruku ini!
Untuk awal yang baru, mintalah kepada Allah sebuah hati yang baru.


Sumber : http://www.iampiniel.com/2015_04_01_archive.html
Ketika saya sedang duduk dengan empat anak remaja dan seorang pria tunawisma berumur 20-an di sebuah dapur umum di Alaska, saya dibuat terharu oleh belas kasihan yang ditunjukkan para remaja tersebut terhadap pria tunawisma itu. Mereka sungguh-sungguh mendengarkan ketika pria itu bercerita tentang apa yang ia percaya, dan kemudian dengan lemah lembut mereka membagikan Injil kepada pria tersebut—menawarkan pengharapan di dalam Yesus dengan penuh kasih. Sayangnya, pria tersebut menolak untuk mempertimbangkan dengan serius kabar Injil tersebut.
Ketika kami beranjak meninggalkan tempat itu, Grace, salah seorang dari remaja itu, menyatakan sambil berlinang air mata, bahwa ia tidak mau pria tersebut meninggal tanpa mengenal Yesus. Dari dasar hatinya, ia berduka untuk pemuda itu, yang pada saat tersebut, menolak cinta kasih Juruselamat.
Air mata remaja itu mengingatkan saya kepada Rasul Paulus yang melayani Tuhan dengan rendah hati dan sangat berdukacita untuk saudara-saduara sebangsanya. Ia menginginkan mereka agar percaya kepada Kristus (Rm. 9:1-5). Belas kasihan Paulus dan keprihatinannya pasti telah membuatnya sering meneteskan air mata.
Apabila kita memang peduli terhadap sesama kita yang belum menerima anugerah pengampunan Allah melalui Kristus, kita akan berusaha untuk dapat membagikan kabar baik itu kepada mereka. Dengan keyakinan iman kita dan air mata belas kasihan, marilah kita membagikan kabar baik itu kepada mereka yang perlu mengenal Juruselamat. —Dave Branon
Adakah seseorang yang ingin kamu ajak bicara tentang Yesus hari ini?
Mengabarkan Injil berarti satu orang menceritakan kabar baik kepada orang lain.
Ada dua anak laki-laki sedang memainkan suatu permainan yang rumit dengan menggunakan sejumlah tongkat dan tali. Setelah beberapa menit anak yang lebih tua berkata dengan marah kepada temannya, “Kamu tak bermain dengan benar. Ini permainanku, dan kita mainkan sesuai aturanku. Kamu tak boleh main lagi!” Sejak usia muda pun, sudah ada keinginan untuk melakukan segala sesuatu semaunya sendiri!
Naaman adalah seseorang yang sudah terbiasa dituruti kemauannya. Ia merupakan seorang panglima pasukan raja Aram. Namun Naaman juga menderita suatu penyakit yang tak tersembuhkan. Pada suatu hari, pelayan istrinya, seorang anak perempuan yang telah ditawan dari negeri Israel, mengusulkan agar Naaman mencari kesembuhan dari Elisa, sang nabi Allah. Naaman sudah putus asa sehingga ia menuruti nasihat itu, tetapi ia mau supaya nabi itu yang datang kepadanya. Ia berharap disambut dengan upacara besar dan penghormatan. Maka ketika Elisa hanya mengirim sebuah pesan yang meminta Naaman untuk mandi tujuh kali di sungai Yordan, Naaman menjadi marah dan menolaknya (2Raj. 5:10-12). Setelah akhirnya Naaman merendahkan diri dan melakukannya sesuai dengan cara Allah, barulah ia disembuhkan (ay.13-14).
Adakalanya kita juga mungkin berkata kepada Allah, “Aku akan melakukannya semauku sendiri.” Namun cara Allah selalu yang terbaik. Oleh sebab itu, marilah kita meminta Allah untuk memberi kita kerendahan hati agar kita lebih rela mengikuti cara-Nya daripada cara kita sendiri. —Marion Stroud
Bapa, ampunilah aku atas kesombonganku dan karena aku sering merasa paling tahu apa yang terbaik untukku. Berilah aku kerendahan hati agar rela mengikuti kehendak-Mu dalam segala hal.
Kerendahan hati berarti memberikan penilaian yang benar terhadap diri sendiri. —Charles Spurgeon
Dahulu di kelas satu, ketika saya belajar menulis huruf, ibu guru mengharuskan saya memegang pensil dengan cara tertentu. Manakala ia mengawasi saya, saya berusaha memegang pensil sesuai dengan cara yang diajarkannya. Namun saat ia berpaling ke arah lain, saya pun bersikeras kembali memegang pensil dengan cara yang saya anggap lebih nyaman.
Waktu itu saya pikir sayalah yang benar jadi saya masih tetap memegang pensil sesuai cara saya sendiri. Namun puluhan tahun kemudian, saya menyadari bahwa guru saya yang bijak itu tahu bahwa kebiasaan saya yang tidak benar dalam memegang pensil akan membuat saya terbiasa menulis dengan cara yang buruk dan akibatnya tangan saya menjadi lebih cepat lelah.
Anak-anak jarang mengerti apa yang baik untuk mereka. Mereka hampir melakukan segala sesuatu menurut apa yang mereka inginkan pada saat itu juga. Mungkin itulah mengapa umat Israel disebut “anak-anak Israel”, karena dari generasi ke generasi, mereka bersikeras menyembah ilah bangsa-bangsa di sekeliling mereka daripada menyembah Allah yang esa dan sejati. Perbuatan mereka membangkitkan murka Tuhan karena Dia tahu apa yang terbaik, dan Dia menjauhkan berkat-Nya dari mereka (Hak. 2:20-22).
“Ketaatan dan sikap keras kepala adalah dua sisi dari koin yang sama. Ketaatan akan membawa sukacita, tetapi sikap keras kepala membuat kita sengsara.”
Jika jiwa yang memberontak telah membuat kita menolak untuk menaati Allah, sudah saatnya hati kita berubah. Kembalilah kepada Tuhan; Dia itu murah hati dan berbelas kasihan. 
Bapa Surgawi, Engkau penuh kasih dan murah hati, dan bersedia mengampuni saat kami datang kembali kepada-Mu. Kiranya kami mengejar-Mu dengan sepenuh hati dan tak bersikap keras kepala dengan mengingini sesuatu menurut cara kami.
Awalnya kita membentuk kebiasaan; kemudian kebiasaan itu membentuk kita.
Kaleb adalah pria asal Israel kuno yang tetap kuat sampai masa tuanya. Di masa mudanya, ia menyusup ke Tanah Perjanjian sebelum bangsa Israel menaklukkannya. Kaleb percaya bahwa Allah akan menolong bangsanya mengalahkan bangsa Kanaan, tetapi mata-mata yang lain tidak sependapat (Yos. 14:8). Karena iman Kaleb, secara ajaib Allah menopang hidupnya selama 45 tahun sehingga ia berhasil mengembara di padang gurun dan memasuki Tanah Perjanjian. Ketika akhirnya tiba waktunya untuk memasuki Kanaan, Kaleb yang sudah berusia 85 tahun mengatakan, “Seperti kekuatanku pada waktu itu demikianlah kekuatanku sekarang” (ay.11). Dengan pertolongan Allah, Kaleb berhasil mengambil bagiannya atas tanah itu (Bil. 14:24).
Allah tidak melupakan kita ketika kita semakin tua. Meskipun badan kita terus bertambah tua dan kesehatan kita menurun, Allah Roh Kudus senantiasa memperbarui batin kita dari hari ke hari (2Kor. 4:16). Roh Kudus memberi kita kesanggupan untuk bisa menjalani hidup yang penuh arti dalam setiap tahap dan usia kehidupan kita.
Bapa Surgawi, aku tahu bahwa kekuatan tubuhku dan kesehatanku bisa menurun. Namun aku berdoa, kiranya Engkau akan terus memperbarui iman dan kerohanianku agar aku dapat melayani-Mu dengan setia selama aku hidup.
Dengan dorongan dari kekuatan Allah dan tangan-Nya yang menopangmu, kamu dapat menghadapi apa pun di depanmu.

Popular Posts